![]() |
Abdul Aziz Husen |
Bismillah,
Allah
Ta’ala berfirman,
“Tiada suatu
bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri” (QS. Al Hadid: 22-23)
Berikut
beberapa faedah yang bisa diperoleh dari ayat di atas:
Faedah pertama
Yang
dimaksud dengan “lauh” adalah lembaran dan “mahfuzh” artinya terjaga. Kata Ibnu
Katsir, Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan,
pengurangan, perubahan dan penggantian.[1] Di dalam Lauhul Mahfuzh dicatat
takdir setiap makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut dengan Al
Kitab, Al Kitabul Mubin, Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Kitab Masthur.[2]
Faedah kedua
Setiap
musibah dan bencana apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak
ramai, baik itu gempa bumi, kekeringan, kelaparan, semua itu sudah dicatat di
kitab Lauhul Mahfuzh. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Allah mencatat
takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[3]
Dalam
hadits lainnya disebutkan,
“Sesungguhnya awal
yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin[4]) adalah qolam (pena),
kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”.
Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi
selamanya”[5]
Faedah ketiga
Takdir
yang dicatat di Lauhul Mahfuzh tidak mungkin berubah sebagaimana maksud dari
ayat yang kita bahas. Begitu pula disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
“Pena telah
diangkat dan lembaran catatan (di Lauhul Mahfuzh) telah kering”.[6]
Dari
sini kita bisa memahami berbagai hadits yang membicarakan bahwa silaturahmi
(menjalin hubungan dengan kerabat) bisa memperpanjang umur dan melapangkan
rizki, atau do’a bisa menolak takdir. Di sisi Allah, yaitu ilmu-Nya, Allah
mengilmui bahwa hamba-Nya menjalin hubungan kerabat dan berdo’a kepada-Nya. Ini
di sisi ilmu Allah. Lantas Allah Ta’ala mencatatnya di Lauhul Mahfuzh keluasan
rizki dan bertambahnya umur.[8]
Artinya
di sini, Allah Ta’ala telah mengilmi bahwa hamba-Nya melakukan silaturahmi atau
berdo’a kepada-Nya. Demikian yang Allah catat di Lauhul Mahfuzh yaitu adanya
keluasan rizki dan bertambahnya umur.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah ketika ditanya apakah rizki yang telah ditakdirkan bisa
bertambah dan berkurang, beliau rahimahullah menjawab, “Rizki itu ada dua
macam. Pertama, rizki yang Allah ilmui bahwasanya Allah akan memberi rizki pada
hamba sekian dan sekian. Rizki semacam ini tidak mungkin berubah. Kedua, rizki
yang dicatat dan diketahui oleh Malaikat. Ketetapan rizki semacam ini bisa
bertambah dan berkurang sesuai dengan sebab yang dilakukan oleh hamba.
Allah
akan menyuruh malaikat untuk mencatat rizki baginya. Jika ia menjalin hubungan
silaturahmi, Allah pun akan menambah rizki baginya.”[9]
Jadi
sama sekali takdir yang ada di Lauhul Mahfuzh tidak berubah, yang berubah
adalah catatan yang ada di sisi Malaikat, dan itu pun sesuai ilmu Allah Ta’ala.
Faedah keempat
Musibah
yang terjadi di muka bumi dan terjadi pada diri manusia, itu telah dicatat di
kitab sebelum diciptakannya makhluk. Inilah tafsiran yang lebih baik pada
firman Allah,
“melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”, yang
dimaksud dengan menciptakannya di sini adalah penciptaan makhluk. Demikian
dipilih oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Pendapat ini didukung dengan riwayat
dari Ibnu Jarir, dari Manshur bin ‘Abdirrahman, ia berkata, “Setiap musibah di
langit dan di bumi telah dicatat di kitab Allah (Lauhul Mahfuzh) sebelum
penciptaan makhluk.”[10]
Faedah kelima
Tidaklah
suatu musibah itu terjadi kecuali disebabkan karena dosa. Qotadah rahimahullah
mengatakan, “Telah sampai pada kami bahwa tidaklah seseorang terkena sobekan
karena terkena kayu, terjadi bencana pada kakinya, atau kerusakan menimpa
dirinya, melainkan itu karena sebab dosa yang ia perbuat. Allah pun dapat
memberikan maaf lebih banyak.”[11]
Faedah keenam
Ayat ini
adalah di antara dalil untuk menyanggah pemahaman Qodariyah yang menolak ilmu
Allah yang telah dulu ada[12]. Artinya, Qodariyah meyakini bahwa Allah baru
mengilmui setelah kejadian itu terjadi. Padahal sebagaimana disebutkan dalam
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,” Allah mencatat takdir setiap makhluk
50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” [13]
Faedah ketujuh
Maksud
firman Allah,
“Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Yaitu Allah mengetahui segala sesuatu sebelum
penciptaan sesuatu tersebut. Allah pun telah mencatatnya. Ini sungguh amat
mudah bagi Allah karena Allah Maha Mengetahui sesuatu yang telah terjadi,
sesuatu yang tidak terjadi dan mengetahui sesuatu yang tidak terjadi seandainya
ia terjadi.[14] Sungguh Maha Luas Ilmu Allah.
Faedah kedelapan
Segala
sesuatu yang telah ditakdirkan akan menimpa seseorang, tidak mungkin luput
darinya. Segala sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya, tidak mungkin akan
menimpanya. Inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Hendaklah engkau
tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu.
Dan segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan menimpamu.”
Jika
demikian, tidak perlu seseorang merasa putus asa dari apa yang tidak ia peroleh.
Karena jika itu ditakdirkan, pasti akan terjadi.[16] Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
“(Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu”
Jika
memang engkau kehilangan Hpmu yang berharga, tidak perlu bersedih karena inilah
takdir yang terbaik untukmu. Siapa tahu engkau kelak akan mendapatkan ganti
yang lebih baik. Engkau belum kunjung diangkat jadi PNS, jadi khawatir pula
karena memang itu belum takdirmu. Engkau belum juga diterima di universitas
pilihanmu, jangan pula khawatir karena takdir Allah sama sekali tidaklah kejam.
Tidaklah perlu bersedih terhadap apa yang luput darimu.
Faedah kesembilan
Jangan
pula terlalu berbangga dengan nikmat yang kita peroleh karena itu sama sekali
bukanlah usaha kita. Itu semua adalah takdir yang Allah tetapkan dan rizki yang
telah Allah bagi[17]. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu”
Faedah kesepuluh
Janganlah
menjadikan nikmat Allah sebagai sikap sombong dan membanggakan diri di hadapan
lainnya. Itulah selanjutnya Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”
Sebagai
penutup dari sajian ini, ada penjelasan yang amat bagus dari Asy Syaukani
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Janganlah
bersedih dengan nikmat dunia yang luput darimu. Janganlah pula berbangga dengan
nikmat yang diberikan padamu. Karena nikmat tersebut dalam waktu dekat bisa
sirna. Sesuatu yang dalam waktu dekat bisa sirna tidak perlu
dibangga-banggakan. Jadi tidak perlu engkau berbangga dengan hasil yang
diperoleh dan tidak perlu engkau bersedih dengan sesuatu yang luput darimu.
Semua ini adalah ketetapan dan takdir Allah … Intinya, manusia tidaklah bisa
lepas dari rasa sedih dan berbangga diri.”[18]
jadi
tidak perlu berbangga diri dan bersedih hati atas nikmat Allah yang diperoleh
dan luput darimu. Pahamilah bahwa itu semua adalah takdir Allah, tak perlu
sedih. Itu semua adalah yang terbaik untuk kita, mengapa harus terus murung.
Itu semua pun sewaktu-waktu bisa sirna, mengapa harus berbangga diri.
Semoga
sajian tafsir ini bisa bermanfaat bagi kita dan semakin menenangkan hati yang
sedang sedih.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Sungguh menenangkan jika kita terus mengkaji
firman-firman Allah.
Artikel
www.rumaysho.com
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Lihat juga:
0 Komentar