“ Seorang usahawan muslim selalu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Sikap itu tidak muncul hanya dari sisi kepentingan komersial semata, seperti yang dilakukan kalangan non muslim. Namun sikap itu muncul dari keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengharapkan pahala dalam hal itu. Kalau-pun mereka mendapatkan keuntungan di balik tindakan mereka tersebut, seperti dagangannya yang semakin laris, hal itu terjadi sebagai hasil tujuan sampingan, bukan tujuan utama. “
Kegiatan Usaha –dalam kaca mata Islam– memiliki kode etik
yang bisa memelihara kejernihan aturan Ilahi, jauh dari sikap serakah dan
egoisme, sehingga membuat usaha tersebut sebagai mediator dalam membentuk
masyarakat yang saling mengasihi satu kepada yang lain.
![]() |
abdul aziz husen |
Dasarnya adalah hal yang menjadi keyakinan seorang
peng-usaha muslim itu sendiri, yakni bahwa harta itu pada dasarnya adalah milik
Allah. Manusia seluruhnya hanya bertugas mengendalikannya. Orang yang bertugas
mengendalikan tentu tidak berhak keluar dari aturan dan tujuan pemilik harta.
Kalau itu dilakukan, maka ia kehilangan posisinya sebagai
pengendali harta. Karunia itu bisa berpindah dari dirinya kepada orang yang
lebih pantas melakukan tugas tersebut dan lebih mampu menjaga apa yang menjadi
hak harta itu.
Semoga semua itu bisa membe-rikan sinar terang dalam
kehidupan seorang pengusaha muslim.
Seorang usahawan muslim dalam melakukan berbagai aktivitas
usahanya selalu bersandar pada dasar-dasar yang bisa penulis ringkas pada
beberapa poin berikut ini :
Dengan niat yang tulus, semua bentuk pekerjaan yang
ber-bentuk kebiasaan berubah menjadi ibadah. Kehidupannya akan berubah pula
menjadi kehidupan yang teratur dan kosmopolit, berisi berbagai macam ketaatan
dan pendekatan diri kepada Allah.
Di antaranya dalam dunia usaha ini. Bentuknya seperti:
kejujuran, sikap amanah dan legawa, sifat suka menunaikan janji, bersikap
konsekuen dalam membayar hutang dan memiliki tole-ransi dalam menagih hutang,
memberikan kelonggaran kepada orang yang berhutang dan kesulitan membayarnya,
memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, menghin-dari sikap
menahan hak, menipu, manipulasi dan sejenisnya.
Akhlak yang baik adalah tulang punggung agama dan dunia.
Bahkan kebajikan itu adalah akhlak yang baik. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Orang yang
paling baik akhlaknya adalah orang yang paling disukai oleh Rasulullah dan
paling dekat dengan majlis Nabi di hari Kiamat nanti. Orang yang berakhlak baik
telah berhasil men-dapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Allah menghalalkan yang baik-baik kepada para hambaNya dan
mengharamkan kepada mereka yang jelek-jelek. Seorang usahawan muslim tentu saja
tidak bisa keluar dari bingkai aturan ini, meskipun terbukti ada keuntungan dan
hal yang menarik serta menggiurkan baginya. Seorang usahawan muslim tidak
seharusnya tergelincir hanya karena mengejar keuntungan sehingga membuatnya
berlari dari yang dihalalkan oleh Allah dan mengejar yang diharamkan oleh
Allah. Padahal segala yang dihalalkan dapat menjadi kompensasi yang baik dan penuh
berkah. Segala yang disyariatkan oleh Allah dapat menggantikan apapun yang
diharamkan oleh Allah.
Berdagang komoditi yang diharamkan seperti minuman keras,
bangkai, daging babi, perdagangan riba dan sejenisnya, tidak akan membuat
pengusaha muslim yang jujur berpaling dari Rabbnya apalagi harus menjebloskan
diri ke dalam semua perniagaan ha-ram tersebut atau menjadikannya sebagai
sumber usahanya.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan keistime-waan
seorang usahawan muslim yang seluruh aktivitasnya bertolak dari kaidah halal
dan haram, yang seluruh usahanya dilakukan dengan mendendangkan syiar mencari
keridhaan Allah sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, kalangan pelaku usaha lainnya
tidak memperdulikan kebaikkan maupun keburukkan usaha yang dijalaninya. Dalam
pandangan mereka sama saja proyek perjudian dengan proyek pembangunan. Karena
mereka telah mencampakkan tata nilai, agama dan etika secara total dari
paradigma pemikiran ekonomi mereka.
Padahal ikatan ini bisa membentuk tatanan yang bersih dalam
aktivitas usaha ketika itu dilakukan oleh tangan-tangan yang terbimbing cahaya
Ilahi, diprakarsai oleh orang-orang ber-iman yang selalu mengharapkan rahmat
Allah dan takut terhadap siksaNya. Sehingga mereka tidak akan terjerumus karena
menge-jar kenikmatan instan atau jatah dunia yang bersifat sementara. Mereka
mencukupkan diri dengan jatah yang ditentukan oleh Allah dan Rasulnya, karena
yang halal itu sudah terlalu luas buat diri mereka.
Oleh sebab itu, di tangan pengusaha muslim harta tidak akan
berubah menjadi alat perusak kehidupan masyarakat, yang menghancurkan rumah
yang sejahtera, dan merusakan generasi yang dilahirkan. Tidak, tetapi harta itu
akan berfungsi sebagai-mana yang dikehendaki oleh Allah, Rabb dari sekalian
makhluk. Menjadi sebuah energi yang memancar, tumbuh dan berkembang. Sebuah
kekuatan yang mengandung berbagai kebajikan dan karunia. Menjaga mata air yang
selalu memancarkan berkah dan kenik-matan. Sehingga seluruh umat merasa
bahagia. Karena keuntungan usaha tersebut dapat dirasakan oleh seluruh umat.
Allah berfirman:
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharam-kan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolong-nya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang
ber-untung.” (Al-A”raf: 157).
Kehormatan harta seorang muslim sama dengan kehor-matan
darahnya. Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan
kerelaan hatinya. Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan cara haram
adalah: uang suap, penipuan, manipulasi, perjudian, najsy, menyembunyikan harga
yang sebe-narnya (kamuflase harga), menimbun barang, memanfaatkan ketidaktahuan
orang, penguluran pembayaran hutang oleh orang kaya, dan lain sebagainya.
Masing-masing di antaranya telah dise-butkan larangannya dalam hadits-hadits
shahih. Nanti akan dise-butkan rinciannya di tengah-tengah pembahasan ini,
insya Allah.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa: 29).
Seorang pengusaha muslim meskipun sudah melanglang buana ke
seluruh penjuru bumi, dan sudah menguasai barat dan timur dengan usaha yang
dijalaninya, namun ia tetap bagian dari umat Islam juga. Ia tetap harus
mengusung dalam hatinya loya-litas, kecintaan dan pembelaan terhadap umat ini.
Ia tetap menjadi juru nasihat bagi umat Islam, tetap mencintai kebaikannya,
tidak menyokong musuh umat atas umat itu. Sehingga dalam mela-kukan usahnya ia
tidak akan bekerjasama dengan musuh-musuh Allah melakukan hal-hal yang
membahayakan umat Islam. Dalam melakukan segala sikapnya, ia selalu bertolak
dari dasar keya-kinan yang kokoh, yang lebih besar daripada uang dan lebih
mengakar daripada gunung. Keyakinan itu mencanangkan dalam hatinya sikap
al-Wala (loyalitas) dan al-Bara (sikap antipati). Akar keyakinan itu semakin
diperdalam oleh puluhan nash diriwa-yatkan berkaitan dengan persoalan ini.
Berdasarkan semua penjelasan sebelumnya, seorang pengusaha
muslim tidak berhak mengadakan hubungan bisnis dengan pihak yang jelas-jelas
memaklumkan perang terhadap Islam dan jelas-jelas pula menampakkan
permusuhannya terhadap umat Islam.
Seorang usahawan muslim tidak boleh mengadakan usaha
penjualan daging rusak atau makanan yang sudah kadaluwarsa, hanya karena
mengejar keuntungan dunia yang didapatkannya dari jalan penuh dosa tersebut.
Perbuatan itu termasuk pengkhia-natan terhadap umat Islam dan termasuk bentuk
sokongan ter-hadap musuh umat yang tidak mungkin berjalan seiring dengan
keimanan sama sekali.
Seorang usahawan muslim juga tidak akan ikut andil dalam
berbagai kegiatan yang secara tidak langsung dapat menguatkan barisan pihak
tersebut dalam menekan kaum muslimin. Seperti perdagangan senjata dan
sejenisnya. Karena itu termasuk bentuk menolong kaum musyrikin memerangi umat
Islam, atau menjadi-kan mereka sebagai teman akrab membelakangi kaum muslimin.
Keharaman perbuatan itu terbukti dalam banyak dalil-dalil yang tegas dan pasti.
Allah berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang-siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. ” (Ali Imran: 28).
Seorang usahawan muslim harus menjadi kompetitor yang baik.
Dalam melakukan kompetisi bisnis, ia tetap menganut kaidah “tidak melakukan bahaya
dan hal yang membahayakan orang lain”. Ia tidak akan memainkan harga barang,
menaik-turunkan harga untuk merugikan pedagang lain. Ia juga tidak akan
memahalkan harga barang karena memanfaatkan kebutuhan orang lain, dan karena
dia sendiri yang memiliki barang tersebut. Karena orang yang memiliki peluang
mengendalikan harga ba-rang kaum muslimin, lalu ia sengaja memahalkannya, pasti
ia akan menerima siksa Allah di hari Kiamat nanti.
Riba termasuk satu dari tujuh perbuatan yang membina-sakan.
Orang-orang yang memakan riba hanya akan berdiri seba-gaimana orang-orang yang
kesurupan setan. Al-Qur”an telah memaklumkan perang antara para pemakan riba
dengan Allah dan RasulNya. Itu merupakan ancaman keras yang tidak ada duanya
dibandingkan dengan maksiat lainnya. Karena siapa saja yang mencermati segala
problematika di dunia yang klasik mau-pun modern, pasti akan mendapatkan
kenyataan bahwa semua problematika ekonomi tersebut ujungnya akan kembali
kepada bentuk kemungkaran berat ini. Seorang pengusaha muslim akan lebih
menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kubangan riba, dan mereka adalah orang
yang paling jauh dari aktivitas yang berhubungan dengan riba melalui berbagai
bentuk transaksi haram, meskipun secara zhahir tampak halal. Pada hakikatnya
dalam Islam tidak dibolehkan untuk membuat trik transaksi yang bertujuan untuk
menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Hal tersebut nanti
akan diulas secara rinci di tengah-tengah studi pembahasan ini, insya Allah.
Allah berfirman menyinggung haramnya riba, mengan-cam para
pelakunya dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni Neraka; mereka kekal
di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 275-276).
Seorang usahawan muslim tidak akan membiarkan dirinya
terkena sanksi hukuman undang-undang positif karena ia me-langgar aturan-aturan
dan rambu-rambu yang dihormati di tengah masyarakat. Ketika seseorang melakukan
sikap tersebut, bukan berarti ia menetapkan hak bagi manusia untuk membuat
undang-undang yang absolut. Akan tetapi sikap itu dia lakukan demi mengokohkan
kewajiban yang diberikan Allah kepadanya untuk mencegah terjadinya kerusakan
dan mencegah bahaya serta tidak membiarkan diri sendiri celaka. Oleh sebab itu sebisanya
hendaknya ia bersungguh-sungguh menghindari berbagai aktivi-tas usaha yang
dapat menjerumuskannya pada perangkap berbagai aturan yang bisa saja
bertentangan dengan syariat. Misalnya tidak terlambat membenahi rekening dan
nota-nota penting sehingga tidak terkena hukuman denda keterlambatan.
0 Komentar